CERPEN NUGRAHA JS: ADAKAH KITA?
Perihal rasa, bukankah tak ada yang lebih meresahkan daripada peperangan antara pikiran dan hati? Logika dan perasaan yang saling berseberangan? Semoga kamu membacanya.
"Aku mencintainya," kata hati yang sedang merindu.
Pikiran berkata, "Dia sepertinya tidak peduli."
"Tapi aku akan berusaha membuatnya jatuh cinta."
"Tapi apakah kamu akan sanggup jika menerima penolakan?"
"Aku akan mencoba bertahan dan tabah."
"Sebelumnya, aku berusaha meyakinkan diri untuk menerima segala risiko."
"Lantas sejauh ini apa yang telah ia beri selain pengecualian dan acuh tak acuh?"
"Ya, memang, tapi aku tak meminta apa-apa, tak mengharapkan apa-apa dan tidak menuntut apa-apa padanya, melainkan hanya 'Tolong ingatkan aku perihal waktu shalat'."
Memang, hati dan pikiran kadang bisa berlawanan arah, berdialektika tanpa dapat dipahami, apalagi disaat tubuh lelah dan lemah.
"Kamu terlalu naif, lihat bagaimana dia begitu banyak di sukai orang,"
Pikiran itu selalu menyangkal, namun hati terus melawan argumennya hingga pada akhirnya pelan-pelan meluluhkan isi kepala.
"Tidak apa, aku mencintainya dan pasti cintaku lebih besar dan tidak akan sama besarnya dengan orang lain."
"Lalu apa yang akan kau andalkan dalam mencintainya? Perlu kamu tahu, dibandingkan kamu, pria yang juga mendekatinya bukan hanya tampan tetapi juga kaya."
Hati leluasa memandangi luasnya langit dan megahnya cakrawala mengharap terdengar.
Tuhanku, tak ada yang lebih berkuasa dari-Mu yang menciptakan segalanya termasuk dia.
"Lalu sampai berapa lama kamu akan bertahan jika dia tetap demikian? Bukankah menunggu adalah hal yang membosankan dan hanya membuang waktu?"
"Aku tak ingin menghitungnya, cinta bukan matematika, bukan benda yang bisa diraba apalagi diterka oleh logika."
"Aku persepsi, melihat dia seperti itu sepertinya memiliki prediksi apa yang akan terjadi kedepannya."
Spekulasi keinginan dan angan-angan itu terus berlanjut di balik riuhnya hujan, menemani sisa-sisa malam.
"Biarkan saja, toh itu bukan kepastian," kata hati yang sedang mengharap.
"Bagaimana pun aku akan tetap berusaha, semaksimalnya, sebab aku merasa telah menemukan seseorang yang selama ini aku cari, aku bersandar pada Tuhanku."
"Hmm, kupikir kamu memang sungguh-sungguh."
"Lihat saja nanti!"
"Kalau demikian, ya! Aku mendukungmu, sepenuhnya!"
"Ya sudah kita berdamai saja. Soal dia kita perjuangkan sama-sama."
"Untuk kita, selamat berjuang!"
--
Seperti bermimpi tetapi bukan mimpi, benarkah tadi aku kerumahmu? Menyalami ibu? Duduk di kursi ruang tamu dan mengobrol denganmu?
Kamu yang duduk di sebelahku dan menikmati soto yang kubawakan itu.
"Romantis ya?"
Kita mengobrol meskipun dengan obrolan yang tidak jelas arahnya kemana, dan di tengah obrolan aku menanyakan masjid padamu, sebab waktu itu pas waktu ashar.
"Ada di depan", tuturmu.
Lalu aku beranjak untuk shalat, setelah usai, aku bergegas kembali kerumah.
Saat kembali mengobrol, ku katakan padamu bahwa sejak pertama kali melihat mu aku merasakan semangat mengalir dalam rasaku.
Kamu hanya tersenyum, tersipu malu seperti menepis, tanpa menjawab.
Ah, saat yang bersamaan, ku lihat kamu sedang asik bermain handphone, membuatku bertanya:
"Ponselmu lebih penting ya?"
"Ini sedang membalas grup," katamu lirih.
Ah, lega mendengarnya, betah di rumahmu, tapi di luar langit mendung, kalau tak bergegas nanti tidak bisa pulang takut kalau-kalau merepotkan.
Sedikit berat hati ku katakan padamu,
"Sepertinya aku akan pulang."
Tapi sebelum pulang, aku ingat ada suguhan permen dari ibu, yang kebetulan aku sukai sedari kecil. Kalimat "I love you" terpampang jelas di kemasannya.
Ah tepat tuturku, lalu kuberikan saja padamu, dan kupastikan kamu menerimanya, aku tak tahu kamu apakan permen itu.
Lalu saat tiba di luar ternyata hujan mulai turun, kamu menahanku tetapi kuyakinkan padamu, "mumpung masih gerimis".
Kamu pun mengiyakan dan bergegas memberitahu ibu, lalu aku ijin pamit pada ibu dan juga padamu dan pertama aku tahu nama mu. "ANP", dan masih terngiang di telingaku, ya waktu itu.
Terimakasih Tuhan, ibuku dan ibumu.
---
Hari itu aku memberanikan diri datang kerumahmu, tanpa kukabari, tanpa kamu undang, apalagi kamu harapkan.
Tapi itu bukan sebuah alasan untuk tidak memberanikan diri untuk tetap datang.
Rindu tetap saja rindu, selagi masih bisa bertemu akan kuperjuangkan, aku tak ingin menyesali perjuangan!
Diperjalanan menuju rumahmu, aku begitu deg-degan takut kalau-kalau kamu marah
melihat sebelumnya tidak kukabari kamu.
Ditengah perjalanan seperti ada yang berbisik, "nanti di tengah perjalanan kamu akan berpapasan".
"Apa benar?" Pikiranku menimpali.
Tanpa ada jawaban lagi, kuteruskan perjalanan sembari memikirkan dan membayangkan banyak hal tentangmu.
Lalu tiba-tiba aku dikagetkan dengan perkataan tadi, bahwa benar kamu dengan ibu sedang diluar, belanja di sebuah warung, dan saat kulihat sepertinya kamu juga melihat ku, tapi ku teruskan saja perjalanan menuju rumahmu.
Setiba didepan rumahmu aku menunggu disebuah masjid, aku menunggu sembari kunyalakan sebatang rokok dengan korek Zippo.
"Ah rasa deg-degan ku mulai menipis oleh hembusan asapnya, meskipun masih ada sedikit".
Namun setelah beberapa saat kamu pun tiba, dan kulihat ibumu tersenyum padaku, dan menyambutku dan menyapa "Kesini A". Tutur Ibumu.
Wah betapa senangnya hati, ternyata ibu menyambutku, meskipun kamu yang kuperjuangkan sepertinya sedikit merasa risih, tapi tak apa, yang penting ibumu menyambutku.
"Duduk A, mau ngopi atau ngeteh?"
"jangan repot-repot Bu, pengen silaturahmi saja". Tuturku.
Kebetulan barang belanjaan ibu masih ada, ku katakan saja "aku saja Bu yang ngambil"
"Enggak jangan, biar ibu aja". Tuturnya.
Sedikit memaksa tapi ibu tetep kekeuh tak mau merepotkan tuturnya.
Yasudah kataku "ibu aku ijin shalat ashar dulu atuh".
"Yasudah, sekalian ibu mau ngambil barang belanjaan".
Akupun berangkat ke masjid, setelah selesai aku menunggu ibu dan dia pulang, setelah beberapa saat ibu datang dan langsung mempersilahkan aku masuk keruang tamu, kamu yang terlihat risih, tidak bisa menolak, karena ibunya yang menyuruh. Haha
Akupun langsung masuk dan kita berdua duduk, meskipun tidak seperti sebelumnya saat itu kita berdua lebih banyak diam, entah kenapa, entah kamu masih merasa risih atau apa, tetapi ku beranikan saja untuk memulai obrolan.
Langsung saja kuajukan sebuah pertanyaan;
"kamu lebih sepakat cinta itu hadir tiba-tiba, atau cinta itu tumbuh?".
"Enggak tahu". Tuturnya
Kukejar dengan sedikit memaparkan maksudku
"Bukankah cinta hadir tidak hanya untuk sesaat? Tetapi ada proses panjang didalamnya?"
Dia manggut-manggut, entah karena tidak mau dengar atau menyetujui.
Kulanjutkan "seperti mencintai yang tidak sesaat, tetapi selama-lamanya, sampai kata selamanya tidak dapat mewakili makna "selamanya". Tuturku.
Lalu kamu sedikit tersenyum.
Dan saat itu temanmu datang mengajakmu menjahit pakaian, dan mungkin sudah saatnya untuk pulang. Tuturku dalam hati.
Dan langsung saja kukatakan padamu bahwa akupun akan pulang, diapun mengiyakan.
Lalu aku berpamitan pada ibu, dan pada kakaknya, sembari dalam hati aku berdoa "semoga kita menjadi keluarga".
Hmmm, sesaat yang indah...
Komentar
Posting Komentar